Adegan goro-goro |
Oh ya, di Semarang pada saat itu, ada dua grup Wayang Orang. Satu adalah Ngesti Pandowo di jalan Pemuda, satu lagi Sri Wanito di Dargo. Di grup kedua inilah, pelawak legendaris Basuki terlatih menjadi Gareng, sebelum akhirnya bergabung dengan Sri Mulat.
Karena lama berlatih di sana, akhirnya saya berkenalan dengan beberapa punggawa Ngesti Pandowo saat itu, diantaranya Pak Wanto, dan Pak Slamet. Beliau adalah pelatih tari. Yang saya ingat, Pak Wanto saat itu sering berperan sebagai Buto Cakil (musuh Arjuna), dan Pak Slamet, terakhir berperan sebagai Semar.
Pak Slamet, yang waktu itu sering nebeng pulang bareng mobil Bapak, ke mess beliau, di Jalan GOR Simpang Lima (sekarang menjadi Mall Ciputra, dan mess tersebut menjadi kompleks ruko-ruko juga tempat parkir).
Entah, kenapa semua tempat bersejarah di Semarang sekarang berubah menjadi mall ya? Semoga Mall di Semarang tidak bertambah lagi.
Setelah tahun 1989, atau setelah saya lulus SD, tidak berapa lama, kompleks GRIS di gusur! WO Ngesti Pandawa pun harus pindah-pindah untuk pentas, sering kali di kompleks Istana Majapahit, sebelum akhirnya menetap di TBRS seperti saat ini.
Minggu lalu, saat pulang ke Semarang, kesempatan itu tertunaikan juga. Setelah lebih 20 tahun, akhirnya saya berkesempatan menonton pentas WO Ngesti Pandowo, secara langsung. Lakonnya Kumbokarno Gugur.
Dibandingkan dulu, sekarang tidak setiap hari mereka pentas. Dulu setiap hari pentas, diselang-seling: Wayang Orang, Ketoprak, Wayang Orang lagi, dan seterusnya. Sepertinya sekarang hanya malam minggu saja.
Ruangannya tidak terlalu luas, dengan tata suara yang kurang bagus. Saya hampir tidak bisa menangkap dialog dari atas pentas, akibat suara yang bergema.
Tiket sederhana |
Satu hal yang pasti, pentas 3 jam malam itu, mengingatkan saya pada almarhum Bapak saya, dan masa-masa kecil saya. Masa-masa di mana tidak ada demam gadget dan Pemilu selesai seketika saat pengumuman hasil, bukan berlarut-berlarut untuk sebagian orang, seperti saat ini.
No comments:
Post a Comment