Thursday, July 16, 2015

Ngesti Pandowo, Pertunjukan Mengenang Masa Lalu

Adegan goro-goro
Tahun 1985 – 1989, hari Minggu pagi, bukanlah hari yang bebas untuk bermain, seperti layaknya anak SD pada umumnya, karena, saat itu saya harus berlatih menari di Wayang Orang Ngesti Pandowo. Saat itu, lokasinya masih di kompleks GRIS, di jalan Pemuda. Untuk yang belum tahu, kompleks GRIS adalah salah satu kompleks bersejarah di Semarang. Di kompleks tersebut, ada bioskop GRIS, di sebelah timur laut, Gedung Wayang Orang di tengah, dan soto GRIS di sebelah barat daya. Bangunan tersebut, sekarang sudah berubah menjadi Mall Paragon. Bangunan aslinya sudah tidak berbekas.

Oh ya, di Semarang pada saat itu, ada dua grup Wayang Orang. Satu adalah Ngesti Pandowo di jalan Pemuda, satu lagi Sri Wanito di Dargo. Di grup kedua inilah, pelawak legendaris Basuki terlatih menjadi Gareng, sebelum akhirnya bergabung dengan Sri Mulat.
Karena lama berlatih di sana, akhirnya saya berkenalan dengan beberapa punggawa Ngesti Pandowo saat itu, diantaranya Pak Wanto, dan Pak Slamet. Beliau adalah pelatih tari. Yang saya ingat, Pak Wanto saat itu sering berperan sebagai Buto Cakil (musuh Arjuna), dan Pak Slamet, terakhir berperan sebagai Semar.
Pak Slamet, yang waktu itu sering nebeng pulang bareng mobil Bapak, ke mess beliau, di Jalan GOR Simpang Lima (sekarang menjadi Mall Ciputra, dan mess tersebut menjadi kompleks ruko-ruko juga tempat parkir).
Entah, kenapa semua tempat bersejarah di Semarang sekarang berubah menjadi mall ya? Semoga Mall di Semarang tidak bertambah lagi.
Setelah tahun 1989, atau setelah saya lulus SD, tidak berapa lama, kompleks GRIS di gusur! WO Ngesti Pandawa pun harus pindah-pindah untuk pentas, sering kali di kompleks Istana Majapahit, sebelum akhirnya menetap di TBRS seperti saat ini.
Minggu lalu, saat pulang ke Semarang, kesempatan itu tertunaikan juga. Setelah lebih 20 tahun, akhirnya saya berkesempatan menonton pentas WO Ngesti Pandowo, secara langsung. Lakonnya Kumbokarno Gugur.
Dibandingkan dulu, sekarang tidak setiap hari mereka pentas. Dulu setiap hari pentas, diselang-seling: Wayang Orang, Ketoprak, Wayang Orang lagi, dan seterusnya. Sepertinya sekarang hanya malam minggu saja.
Ruangannya tidak terlalu luas, dengan tata suara yang kurang bagus. Saya hampir tidak bisa menangkap dialog dari atas pentas, akibat suara yang bergema.
Tiket sederhana
Malam itu, pengunjung sekitar 40 orang, harga tiket yang dijual sebesar Rp 30.000 per lembar. Sekilas memang mahal. Harga menonton film di bioskop juga sekitar itu. Tapi, menonton wayang bukan sekedar melihat pentas, di sana terdapat pelajaran hidup yang kompleks, dengan sejarahnya yang panjang.
Satu hal yang pasti, pentas 3 jam malam itu, mengingatkan saya pada almarhum Bapak saya, dan masa-masa kecil saya. Masa-masa di mana tidak ada demam gadget dan Pemilu selesai seketika saat pengumuman hasil, bukan berlarut-berlarut untuk sebagian orang, seperti saat ini.

No comments:

Post a Comment