Sunday, August 19, 2018

Kurangi penggunaan sedotan dan plastik sekali pakai

Sebagai pembaca majalah National Geographic (sekarang sudah tidak lagi, NG putus hubungan kerjasama dengan KKG), pembahasan mengenai sampah lingkungan sudah tidak asing lagi. Terutama akhir-akhir ini, banyak sekali tulisan yang membahas bahaya sampah plastik yang terapung di lautan, dikarenakan bisa terurai kecil-kecil, lalu dimakan ikan, dan ikannya dimakan manusia. Ujung-ujungnya, manusia makan sampah plastik. Waduh!

Gerakan yang mengerucut tentang sampah plastik ini, adalah pengendalian penggunaan barang sekali pakai, bisa tas belanja, tempat makanan, atau sedotan. Khusus yang terakhir, kampanyenya cukup banyak. Dan, saya salah satu yang terpengaruh kampanye tersebut.
Intinya sebetulnya sederhana, saat kita minum (entah di tempat makan, cafe, atau gerobak pinggir jalan), secara otomatis akan diberi sedotan. Nah ini biang keladi. Gelas atau botol plastik, seringkali diambil oleh pemulung, untuk selanjutnya bisa jadi, diolah di tempat daur ulang plastik. Tetapi sedotan pasti terlewatkan, kenapa? Karena bentuknya yang kecil, dan pasti berwarna-warni. Kata seorang pemulung, plastik berwarna harganya jauh lebih murah dibandingkan yang bening. Akibatnya, sedotan tersebut akan tertinggal di tong sampah, tanpa ada yang melirik.
Hal yang bisa saya lakukan secara sederhana adalah, membeli sedotan bambu. Sebetulnya ada juga sedotan besi, tetapi lebih mahal, jadi bambu cukup dah. Nah, sedotan bambu ini selalu tersimpan di dalam tas, suatu saat diperlukan. Dua hal yang cukup mengganggu apabila menggunakan sedotan bambu ini adalah:
Di Starbuck, pesan dengan mug, dan tanpa sedotan
1. Ujungnya yang tidak lancip, jadi PR tersendiri saat mau menusuk plastik penutup Cha Time dan sejenisnya. Maklum, plastik penutupnya kan tebal tuh. Kalau sedotan dari sana kan pasti lancip. Ini bisa diakali dengan meruncingkan ujung sedotan bambu, jadi bambu runcing versi mini. Beres
2. Diameter yang kecil. Kalau beli minuman bubble, itu bubble relatif bulat dan besar. Nah, saya belum ketemu sedotan bambu dengan diameter sebesar bubble itu! Solusi paling gampang? Tidak usah pakai sedotan. Itu minum ditenggak saja, tidak masalah kok. Paling itu minuman akan cepat habis, dan untuk pemakai lipstik, mesti benerin lipstiknya lagi dah
Kalau malas bawa-bawa sedotan bambu atau besi, cara lebih gampang lagi adalah, minum dari gelasnya saja. Ngapain pakai sedotan? :)
Sederhana sekali bukan?
Meski menurut artikel di bloomberg, polutan plastik terbesar di laut bukanlah sedotan, tetapi jaring nelayan bekas, tetap saja, hal ini meski kecil, merupakan wujud kepedulian kita kepada lingkungan, untuk mengurangi limbah plastik.
 

8 comments:

  1. Sekarang sudah mulai membiasakan diri minum nggak pake sedotan plastik. Hehehe~

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bagus itu, Mas. Saya jadi teringat kearifan lokal leluhur kita, yaitu kendi. Ramah lingkungan, mudah untuk penggunaan, namun susah bawanya

      Delete
  2. Nyucinya pakai yang sikat kecil panjang itu bukan Mas? Aku udah kepikiran lama mau beli mgkn yang stainless steel sekalian kali ya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul Mbak. Kebetulan masih ada sikat panjang bekas untuk cuci botol minum anak saya, jadi tidak perlu beli lagi

      Delete
  3. Kenyataanya dimana pun kita membeli minuman pasti dikasih sedotan. Tapi gak ada salahnya dimulai dari diri sendiri

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Mas. Makanya, setiap beli minum, selain bilang gula dipisah, juga bilang, "tanpa sedotan"

      Delete
  4. Pernah dikatain begini: Minum kok pake sedotan, kayak anak kecil!
    Sejak itu sangat jarang minum pake sedotan. Beberapa jenis minuman aja yang memang perlu pakai sedotan. Sisanya saya nenggak langsung. Apalagi air gelas kemasan. Dan, lebih senang lagi, anak saya ikut-ikutan.

    ReplyDelete